BPOM Diminta Telaah Wacana Pelabelan Air Kemasan
Sabtu, 23 Oktober 2021 11:00 WIB
INFO BISNIS - Pakar kimia ITB, Ahmad Zainal, meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberlakukan pemberian label lolos uji keamanan pangan pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) juga kepada semua produk pangan.
“BPOM harus fair juga terkait pelabelan itu, karena makanan dan minuman kan tidak cuma galon. Ini ada aturannya BPOM-nya yang menyebutkan bahwa jaminan keamanan pangan itu dilakukan pada semua produk pangan,” ujarnya.
Keinginan BPOM untuk melakukan pelabelan berawal dari kegelisahan masyarakat akibat isu bahaya Bisfenol A (BPA) yang ada di dalam galon berbahan Policarbonat (PC). “Itu disampaikan BPOM saat saya dipanggil BPOM untuk menghadiri pertemuan di Gedung BPOM beberapa waktu lalu,” kata Zainal.
Menurut dia, pelabelan sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon aman untuk digunakan. Berdasarkan hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap AMDK jenis polikarbonat pada 2021 menunjukkan adanya migrasi Bisfenol A (BPA) dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bagian per juta (bpj). Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, yaitu sebesar 0,6 bpj.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, juga mempertanyakan rencana BPOM tersebut. “Kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak,” ujarnya.
Dia mengutarakan seharusnya BPOM melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. “Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya. (*)