Para Ahli Panggil Negara-negara Asia Berkolaborasi Perangi DBD
Senin, 15 Juli 2019 16:15 WIB
INFO BISNIS — Asia menuju epidemik demam berdarah dengue (DBD) lagi pada tahun ini. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejumlah negara termasuk Australia, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam tengah menghadapi lonjakan tajam kasus DBD dalam enam bulan terakhir.
Seiring DBD yang terus menjangkit di Asia, para ahli penyakit menular terkemuka di seluruh dunia serta pejabat pemerintah, pembuat kebijakan dan otoritas kesehatan publik telah berkumpul pada 4th Asia Dengue Summit di Jakarta untuk membahas manajemen penyakit DBD dan mengidentifikasi strategi guna mendukung dan meningkatkan upaya negara-negara Asia melawan DBD. Tahun ini juga menandai 50 tahun Indonesia melawan DBD.
Kelompok kerja ilmilah Asia Dengue Voice & Action (ADVA) menggelar summit selama dua hari dan bermitra dengan Global Dengue and Aedes transmitted Diseases Consortium (GDAC), Southeast Asian Ministers of Education Tropical Medicine and Public Health Network (SEAMEO TROPMED), dan Fondation Mérieux.
Prof. Sri Rezeki Hadinegoro, Ketua Panitia, 4th Asia Dengue Summit, mengatakan selama beberapa tahun terakhir, negara-negara di Asia telah memperkuat metode pencegahan dan pengendalian DBD yang sudah ada akibat perubahan situasi yang terjadi. “Summit ini berfungsi sebagai sarana para ahli untuk berbagi dan belajar sambil membahas langkah konkret, berbagi keberhasilan dan kegagalan, dan mengidentifikasi strategi untuk mengatasi beban DBD secara bersama-sama. Hasil dari summit ini akan membantu mengembangkan kerangka strategi yang efisien dan hemat biaya untuk langkah-langkah pencegahan dan pengendalian DBD di wilayah tersebut,” ujarnya.
"Di Indonesia, kami meluncurkan Komunitas Dengue Indonesia, sebuah organisasi nonpemerintah yang terdiri dari dokter, peneliti, pemimpin kesehatan masyarakat pemerintah, dan pembuat kebijakan telah dibentuk untuk bertukar gagasan, pembaruan, dan pencapaian dalam strategi manajemen DBD di wilayah ini dengan pemerintah," tambah Prof. Sri.
Prof. Duane Gubler, Prof. Emiritus, Duke-NUS Medical School, Singapura, dan Ketua Global Dengue and Aedes–Transmitted Diseases Consortium (GDAC) mengatakan ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap munculnya wabah DBD ini, tetapi urbanisasi, globalisasi, dan kurangnya pengendalian nyamuk yang efektif telah menjadi pendorong utama. “Virus DBD telah sepenuhnya beradaptasi dengan siklus transmisi manusia-Aedes aegypti-manusia, di mana populasi manusia yang padat hidup dalam hubungan erat dengan populasi nyamuk yang sama besarnya sehingga sulit untuk memerangi DBD,” ucapnya.
Faktor-faktor eksternal, seperti kemampuan virus untuk menyebar dengan meningkatnya jumlah manusia yang berkeliling lintas dunia menyebabkan migrasi DBD sehingga membuat perjuangan melawan DBD semakin sulit.
Dr. Zulkifli Ismail, Wakil Ketua ADVA dan Sekretaris Jenderal Asia Pacific Pediatric Assocation, mengatakan koalisi ADVA akan memanfaatkan pengetahuan dan keahilannya dalam mendukung pemerintah di Asia guna mengurangi beban DBD. “Untuk mengatasi pandemi secara efektif, kita membutuhkan pendekatan yang holistik serta upaya-upaya yang terintegrasi dan terpadu untuk memastikan pengendalian dan manajemen DBD yang lebih baik secara regional maupun global,” ujarnya.
“Ketahanan masyarakat yang berkelanjutan, edukasi, advdokasi, dan mobilisasi tetap penting. Sangat penting bagi kita untuk terus meningkatkan langkah-langkah pengendalian yang ada, mengembangkan kapasitas, dan mengenalkan vaksinasi. Semuanya memainkan peran penting dalam pendekatan terintegrasi melawan DBD, sebuah penyakit yang tidak mengenal batas apapun,” kata Dr. Zulkifli. (*)