Menimbang Dua Sisi Fintech Lending
Kamis, 23 Mei 2019 19:43 WIB
INFO BISNIS – Dunia digital berkembang begitu pesat. Saat ini, urusan pinjam-meminjam uang tidak saja bisa dilakukan oleh lembaga perbankan konvensional, namun juga platform bernama pinjaman dalam jaringan (fintech lending/peer to peer lending). Pinjaman dalam jaringan merupakan layanan pinjam-meminjam uang secara langsung antara kreditur/pemberi pinjaman (lender) dan debitur/penerima pinjaman (borrower) berbasis teknologi informasi.
“Kami senang melihat perkembangan fintech lending di Indonesia yang luar biasa. Namun, jangan sampai kontribusi positif yang diberikan fintech lending menyisakan persoalan. Kita tidak ingin hal itu terjadi. Masyarakat perlu dilindungi,” kata Deputi Direktur Penelitian, Pengaturan, dan Pengembangan Fintech OJK Munawar, dalam acara Ngobrol@Tempo bertajuk “Manfaat Ekonomi Fintech Lending”, di Solo, Kamis, 23 Mei 2019.
Acara ini dipandu oleh Direktur Info Media Digital Tempo Tomi Aryanto. Solo menjadi kota kedua penyelenggaraan acara sosialisasi fintech lending yang dilakukan OJK bekerja sama dengan Tempo Media Group setelah acara serupa digelar di Semarang pada akhir April lalu.
Mengutip penelitian Indef (2018), OJK mencatat lima kontribusi positif yang diberikan fintech lending. Pertama, fintech lending menyerap tenaga kerja sebesar 215.433 orang. Kedua, fintech lending menstimulus pertumbuhan perbankan sebesar 0,8 persen, perusahaan pembiayaan (0,6 persen), dan ICT (0,2 persen). Ketiga, pengembangan fintech lending selama kurang dari 2 tahun terakhir telah menambah GDP sebesar Rp25,97 triliun. Keempat, fintech lending menambah pendapatan dalam bentuk upah dan gaji sebesar Rp 4,56 triliun. Kelima, fintech lending terbukti meningkatkan penyaluran kredit khususnya ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Sampai saat ini, total kebutuhan pembiayaan bagi sektor UMKM di Indonesia mencapai sekitar Rp 1.649 triliun. Tetapi, kapasitas pembiayaan oleh industri jasa keuangan tradisional hanya sekitar Rp 660 triliun, sehingga terdapat gap sekitar Rp 988 triliun per tahun. “Fintech lending hadir bukan untuk menyaingi lembaga perbankan konvensional, namun justru mengisi kekosongan gap kebutuhan pembiayaan bagi sektor UMKM di Indonesia,” ujar Munawar.
Namun, Munawar mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah tergiur dengan pinjaman uang dari platform fintech lending. “Meski uang yang kita butuhkan bisa cair dalam waktu 3 jam, namun fintech lending bukan pinjaman murah. Jangan pinjam kalau tidak butuh,” tutur Munawar sambil menyebutkan bunga yang ditawarkan platform ini rata-rata sebesar 24 persen per tahun pada Maret 2019. Munawar juga mengingatkan masyarakat untuk tidak melakukan transaksi dengan fintech lending ilegal. Per April 2019, OJK telah menutup 947 fintech lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK. “Kami ingin melindungi masyarakat.”
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Irwan Tri Nugroho menyambut positif kehadiran platform fintech lending ini. Menurut dia, kehadiran platform ini tidak saja mampu mengeliminasi fungsi intermediasi perbankan, namun juga mengakselerasi terciptanya inklusi keuangan di Indonesia. “Masyarakat yang meminjam uang melalui platform ini sebaiknya digunakan untuk mengungkit usaha yang dilakukan,” kata dia menghimbau.
CEO dan Co-founder Batumbu Sonny Ch. Joseph menilai kehadiran fintech lending mampu memberikan perbedaan berarti bagi sektor UMKM di Indonesia. Saat ini, Sonny mencatat, terdapat 63 juta pelaku UMKM. “Sektor UMKM di Indonesia sangat potensial, kami ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi para pelaku UMKM di Indonesia,” ujarnya.
Nana, salah satu pelaku UMKM di Kadipiro, Solo yang membuka usaha jahit masih menimbang-nimbang untuk meminjam uang melalui platform fintech lending. “Saya masih pikir-pikir, sebab bunga yang ditawarkan besar, tapi kalau nanti kepepet saya akan meminjam uang dari platform fintech lending,” katanya sambil tersenyum.(*)