Fahira Idris: Amanat UU, Demonstrasi Damai Harus Dilindungi
Selasa, 21 Mei 2019 19:57 WIB
INFO BISNIS – Negara lewat konstitusinya harus membuka kran selebar-lebarnya, dan memberi perlindungan keamanan dan hukum bagi rakyatnya untuk menyampaikan aspirasi, kritik, bahkan kecaman terutama kepada lembaga-lembaga negara yang dibiayai oleh uang rakyat. Itu merupakan konsekuensi memilih menjadi negara demokrasi.
Hal itu dikatakan oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris, yang membidangi persoalan politik, hukum, dan HAM. Menurutnya, selama demonstrasi digelar secara damai, tertib, tidak anarkis, serta mematuhi UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan aturan lainnya, maka negara atau aparatur pemerintah wajib melindungi hak asasi warga negara yang berdemonstrasi, menghargai asas legalitas dan prinsip praduga tidak bersalah, dan yang juga penting menyelenggarakan pengamanan.
Menurutnya, dari sekian banyak cara menyampaikan aspirasi, demonstrasi menjadi salah satu pilihan yang dianggap paling efektif. “Demonstrasi damai harus dilindungi, tidak boleh dihalangi. Amanat undang-undangnya jelas. Bahkan, jika ada pihak yang menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dipidana. Sejak 1998, penyampaian aspirasi lewat demonstrasi sudah menjadi pemandangan biasa, dan sejauh ini baik-baik saja. Kenapa akhir-akhir ini menjadi persoalan yang dianggap begitu mengancam,” kata Fahira Idris, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 21 Mei 2019.
Menurut Fahira, tiap gelaran pemilu yang diselenggarakan pascareformasi 1998 harus menjadi tangga bagi bangsa ini agar semakin dewasa dalam berdemokrasi. Samakin dewasa dalam berdemokrasi artinya siapa pun yang berkuasa harus menjamin kemerdekaan rakyatnya menyampaikan pendapat di muka umum secara damai, bukan malah sebaliknya.
“Penyumbatan kemerdekaan berpendapat sama saja mengamputasi demokrasi dan ini berbahaya bagi kehidupan berbangsa kita. Jangan demokrasi kita gunakan hanya untuk meraih kekuasaan, tetapi setelah berkuasa tidak mau menanggung konsekuensi dari demokrasi itu sendiri, yaitu kemerdekaan rakyat menyampaikan pendapat di muka umum,” ujar Fahira. (*)