Mewujudkan Mimpi Anak Bangsa dari Pinggiran
Rabu, 9 Mei 2018 16:05 WIB
INFO BISNIS - Membangun Indonesia dari pinggiran tidak hanya berfokus pada infrastruktur, tapi juga membangun sumber daya manusia. Hal itulah yang mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat program Guru Garis Depan (GGD). Mereka adalah guru-guru yang ditempatkan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di seluruh Indonesia.
Program GGD sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran. Hal itu dilakukan dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan untuk pendidikan merata dan berkualitas agar dapat dilaksanakan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mereka bukan hanya sebagai guru, melainkan juga agen perubahan dan motivator. Sejak 2015, ada sekitar 7.093 guru telah dikirim ke garis depan negara. Salah satu dari mereka adalah Arif Darmadiansah, asal Wonogiri, Jawa Tengah. Arif bertugas di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Probur, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Tantangan terbesar Arif di sekolah itu adalah menumbuhkan semangat belajar anak-anak didiknya dengan prasarana dan sarana belajar yang sangat terbatas di tengah keterbatasan infrastruktur. Namun ia berhasil mengatasinya dengan menciptakan media belajar inovatif yang membuat siswa-siswi SMA Probur tertarik, yaitu proyektor hologram tenaga surya. Bahkan media belajar tersebut membawa Arif menjadi juara dua inovasi pembelajaran jenjang SMA/SMK tingkat nasional pada 2016.
“Perjuangannya luar biasa, mengabdi pada negara. Ceria mereka adalah kebahagiaan saya. Dengan minimnya kemewahan sarana pembelajaran yang konvensional dan segala keterbatasan, perubahan terus saya lakukan. Saya terus melakukan terobosan agar semangat belajar anak-anak merekah dan maju sekolahnya,” kata Arif.
Hal yang dibutuhkan Arif hanya sebuah komitmen. “Untuk menjadi inspiratif, kreatif, dan inovatif bersama mereka, dibutuhkan komitmen. Komitmen bersama untuk semangat belajar. Mimpi saya adalah mimpi mereka yang terwujud. Di sini, saya berada, jiwa raga menancap tegap di bumi dan terus melakukan terobosan,” ucapnya.
Lain lagi dengan Oktiva Asriani Alvareta. Dia adalah GGD di Sekolah Dasar (SD) Negeri 27 Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Di kecamatan ini, ada 37 GGD SD yang tersebar. Dengan wilayah yang susah terjangkau dan infrastruktur jalan yang buruk, para GGD ini harus menempuh perjalanan sekitar satu sampai dua jam untuk sampai sekolah. Jika musim panas, Oktiva harus menempuh perjalanan berdebu serta musim hujan harus berlumpur.
Di sekolah ini, hanya ada tiga guru berstatus pegawai negeri sipil dan dua guru honorer sehingga setiap harinya ada dua guru yang harus mengajar satu kelas dalam satu ruangan. Sedangkan akses Internet dan listrik pun hanya menyala saat malam hari. Itu pun listrik bantuan dari sebuah perusahaan kelapa sawit.
“Jika musim hujan, para guru sering tidak bisa sampai ke sekolah. Karena, tidak ada akses jalan ke sekolah. Listrik belum masuk. Sinyal Internet belum ada dan telepon seluler kesulitan. Kami berharap pemerintah membantu infrastruktur perbaikan jalan ini. Saya sangat berterima kasih dengan adanya GGD karena ini membantu sekali,” kata Kepala SDN 27 Nanga Tayap Zulkarnaen.
Pada 2017, ada 6.629 GGD yang tersebar di 93 kabupaten dari Aceh hingga Papua. Mereka siap mencerdaskan anak bangsa dari garis paling depan Indonesia. (*)